Hari BigMac Personal
Merayakan kembali keputusan untuk memilih hidup yang diinginkan dan memperjuangkan pilihan tersebut.
Pada jam 5 pagi tanggal 31 November 2013 saya tiba di Bali.
Sehari sebelumnya, saya naik kereta ekonomi Sri Tanjung pukul 6 pagi di Stasiun Lempuyangan dan tiba pukul 10 malam di Stasiun Banyuwangi. Dari situ saya lanjut menyeberang menggunakan kapal ferry menuju Pelabuhan Gilimanuk. Perjalanan berlanjut dengan bis menuju stasiun Ubung Denpasar. Bus Tiba di Denpasar jam 5 pagi.
Saya hanya membawa satu carrier besar dan satu daypack kecil berisi baju dan beberapa buku. Juga handphone android smartfren andromax dan laptop toshiba warna pink yang tuts G ditempel selotip. Keduanya pemberian kakak untuk modal hidup.
Dengan penampilan tersebut orang berpikir saya seorang turis cina yang akan backpackeran kere ke Bali. Meski kenyataannya, saya sedang bertaruh memulai hidup baru selepas lulus kuliah.
Selama sebulan awal di Bali, saya tinggal bersama keluarga Yosua di kamar kosnya. Jadi di kamar tersebut ada saya, Yosua, dan Sheila, istrinya yang sedang hamil besar.
Saya sempat sungkan waktu Yosua menawarkan untu menampung saya di kamar kostnya. Bagaimana jika mereka sedang ingin lebih privasi dan ada saya di sana? Saya ingat betul jawaban Yosua waktu itu. “Sheila lagi hamil gede, jadi gua ngga bisa gitu-gituan sampai lahiran”. Ia juga kembali menyemangati “makanya cepat dapat kerja biar bisa langsung sewa kamar sebelah”.
Yosua sendiri adalah sahabat sejak di Jogja. Kamar saya dan Yosua bersebelahan. Begitu juga dengan Sheila yang waktu itu masih jadi pacarnya sering datang berkunjung. Yosua & Sheila sudah seperti keluarga.
Saya ingat betul hanya membawa bekal uang 2,9 juta hasil konversi uang 200 euro. Uang yang merupakan tips dari seorang perempuan perancis karena menjadi temannya selama berpetualang di Yogyakarta.
Saya berjanji apapun akan saya lakukan di pulau ini untuk mendapat uang asal halal. Entah bekerja halus di kantoran atau mesti menyapu & menyikat WC, saya tidak boleh gagal memulai hidup di Bali.
Lalu kenapa Bali? Bukannya lebih mudah hidup di Jakarta?
Tentu saja saat itu keluarga meminta saya pulang ke rumah dan mencari kerja di Jakarta atau meneruskan usaha keluarga. Tapi saya menolaknya.
Saya percaya, paling tidak untuk saya pribadi “jiwa manusia akan tetap hidup dan tumbuh saat ia terus berbenturan dengan pengalaman-pengalaman baru”. Dan Bali adalah gerbang menuju semua petualangan yang sudah lama saya impikan.
Lagipula saya selalu ingat kata Seno Gumira Ajidarma tentang Menjadi Tua di Jakarta.
“Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa”
Saya selalu teringat pernyataan seorang teman, “kamu akan lebih mudah mencari uang dan karir di Jakarta daripada di Bali”. Tidak ada yang salah dengan pernyataan tersebut.
Tapi uang adalah alat dan apa yang ingin kita capai dengan alat tersebut?
Bila tujuan bekerja adalah memiliki tabungan gendut, membeli aset bertumpuk, dan akses ke segala fasilitas nomor wahid, tentu berjuang di Jakarta adalah pilihan terbaik.
Namun, yang saya inginkan dalam hidup sederhana.
Saya hanya ingin memiliki rumah kecil di atas bukit, memelihara anjing, dan tiap hari membawa anjing ke pantai. Punya waktu luang untuk membaca banyak buku. Sesekali mendaki gunung, bersepeda, touring motor, camping, dan minum bir bersama teman-teman. Melakukan hal-hal sederhana.
Hal-hal di atas jadi sangat mahal jika saya tinggal di Jakarta. Namun, sangat terjangkau untuk dilakukan sering-sering di Bali.
–
Setelah tiga minggu tinggal di Bali,
saya belum mendapat pekerjaan. Uang semakin menipis. Tiap CV yang saya kirim belum bersambut. Mungkin untuk pekerjaan di kantor saya underqualified, namun untuk pekerjaan kasar saya overqualified.
Sempat terpikir untuk meminta bantuan keuangan ke rumah. Namun, saya urungkan niat tersebut. Dari kuliah semester 10-13 saya sudah membiayai hidup dan kuliah sendiri. Sejak saya tahu saya telat menyelesaikan studi maka saya bertanggung jawab atas pilihan tersebut.
Meminta bantuan ke rumah hanya akan membuat keluarga khawatir. Meski mereka pasti akan memberikan bantuan supaya hidup saya lebih nyaman.
Pada kenyataannya seperti dalam hukum ekonomi There ain’t no such thing as a free lunch. Tentu saja bantuan dari rumah akan datang dengan tuntutan untuk pulang saja ke rumah dan cari pekerjaan di Jakarta atau meneruskan usaha keluarga. Meminta bantuan menunjukan kalau saya tidak bisa bertahan hidup di sini.
Kata-kata ayah waktu saya SMP “kalau kamu masih hidup dari uang papa dan tinggal di rumah ini, kamu ikut aturan rumah ini”. Dari situ saya belajar, selalu ada konsekuensi dari rasa aman dan fasilitas yang diberikan orang tua.
Ya kalau saya selalu menggunakan fasilitas orang tua tentu saya juga harus mengikuti aturan orang tua. Dan masalahnya, di keluarga tionghoa, seberapapun tua seorang lelaki akan tetap seperti anak kecil di mata orangtuanya.
Itu kenapa saya harus berani keluar rumah, memilih hidup yang diinginkan, dan memperjuangkan pilihan itu. Bila saya memilih rasa aman dan nyaman dari fasilitas keluarga maka bersiaplah untuk kehilangan kebebasan dalam memilih.
——
Sepuluh tahun lalu di Bali,
paket data tidak murah, dan mencari free wifi tidak mudah. Maka, tiap jam sembilan pagi saya naik sepeda kurang lebih sepuluh kilo dari kost di Dalung menuju McD di Gatot Subroto Barat demi mendapat wifi gratis. Dari sekedar mulai submit tulisan ke media travel untuk dapat uang tambahan dan mencari update lowongan pekerjaan.
Demi menghemat uang, saya selalu membeli promo es susu kopi jelly McD seharga 6 ribu rupiah. Kemudian, saya akan duduk di meja yang belum dibersihkan dan masih banyak makanan sisa. Dengan naif saya kira pegawai McD dan pengunjung lain akan berpikir saya 4-5 jam di sana karena belum menghabiskan makanan dan minuman. Meski dalam kenyataannya mereka tidak peduli.
Entah sedang apes hari itu saya tidak sarapan di kos Yosua dan bekerja di McD sampai jam 3 sore. Saat saya kelaparan ingin pulang, hujan deras turun cukup lama. Perut kosong yang diisi kopi dan susu membuat perut saya lapar sekaligus melilit.
Saya ingin membeli BigMac atau paket nasi dengan ayam di McD, tapi saya harus disiplin anggaran. Harga satu paket makanan di McD bisa digunakan untuk membeli tiga bungkus nasi babi guling. Tentu tidak bijak makan di McD saat kondisi keuangan menipis.
Saya menimbang-nimbang dengan perut lapar saya harus segera bersepeda menembus hujan menggunakan sisa tenaga yang ada. Namun, saya urungkan niat tersebut karena kemungkinan besar bisa jatuh sakit. Di pulau antah berantah dan uang terbatas, saya tidak boleh sakit.
Tak lama sepasang muda-mudi meninggalkan meja di sebelah. Mereka menyisakan makanan yang seperti hampir tak tersentuh. Satu kotak french fries yang mungkin hanya dimakan beberapa dan satu bonggol BigMac yang berkurang 1-2 gigitan.
Insting survival saya mengatakan “Ambil saja BigMac itu, makan sekarang”. Namun, logika bilang jangan.
Kita tak pernah tahu ada penyakit apa di liur orang yang menggigit bigMac itu. Jalan masih panjang dan mimpi masih banyak. Kita tidak pernah terlalu muda untuk mati dan saya tidak mampu menanggung biayanya jika sakit.
Pertentangan dalam pikiran ini berlangsung hampir 1 jam menggunakan sisa-sisa tenaga dan perut lapar melilit.
Seperti pak SBY katakan tidak pada korupsi, maka akhirnya saya katakan tidak pada makan bigmac sisa.
Dalam perenungan saya belajar, saya begitu kebelet ingin makan BigMac karena saya biasa makan Bigmac. Saya mampu membeli BigMac sebelumnya. Jadi menyedihkan ketika saya tidak mampu membelinya.
Namun apa esensi dari makan? Menambah tenaga dan terus hidup. Saya bisa bertahan dengan banyak pilihan-pilihan lainnya. Saya bisa bertahan dengan makan nasi tempe oreg di warteg, atau nasi jinggo di gerobak sepeda, atau bubur sayur di pasar. Saya hanya perlu menyesuaikan gaya hidup kembali.
Tak lama hujan reda, saya pulang mengayuh sepeda. Di kos Yosua saya memasak indomie soto pakai telur. Itu adalah indomie paling enak dalam sejarah hidup saya.
—-
Pada minggu keempat,
uang semakin menipis.
Kebetulan saat itu kampus sedang giat-giatnya membangun jejaring alumni di seluruh Indonesia dan mengadakan kumpul alumni pertama di Bali. Saya, Yosua, dan Sheila datang ke acara tersebut. Di sana saya berjejaring dan menemukan berbagai informasi pekerjaan yang bisa saya ambil.
Dengan modal pengalaman kerja saat kuliah sebagai Community Development di Kalimantan; kuliah di jurusan ekonomi manajemen; dan informasi sesama alumni; saya mulai bekerja di NGO yang bergerak di microfinance development pada tanggal 2 januari 2014.
—–
Tanggal 24 Januari 2014
saya menerima gaji pertama di Bali. Saya ingat betul gaji probasi saat itu 2,8 juta. Mentok dengan UMR Bali, tapi saya tahu saya masih bisa bertahan dan melanjutkan hidup di bali untuk mencari kesempatan-kesempatan lain yang lebih baik.
Saya berhasil bertahan hidup di Bali dengan modal 200 euro, pertemanan, dan keberanian.
Untuk merayakan gajian pertama, saya datang ke McD membeli BigMac. Saya menikmati pelan-pelan tiap gigit BigMac dengan rasa bangga dan bahagia. Seakan-akan Mark Ritcher sedang menggaungkan Simfoni Spring 1 Vivaldi di belakang meja.
Mulai saat itu, tiap tanggal 24 Januari saya merayakan hari BigMac Personal.
Merayakan kembali keputusan untuk memilih hidup yang diinginkan dan memperjuangkan pilihan tersebut.
Seperti dalam pepatah latin “Fortes Fortuna Adiuvat”, keberuntungan milik orang berani.
Leave A Comment