Malam itu penghujung tahun 2007, kami meringkuk di dalam tenda yang bocor. Beriring bunyi rangka tenda yang bergetar reot.
Andri diam, Dendy muram, Sandy terpejam, wajah kami suram.
Di luar angin berpesta pora, hujan bukan lagi butiran air tapi seperti ditumpahkan sekaligus dari langit.
Jalur Linggarjati adalah jalur terpanjang untuk menuju puncak Ciremai. Selain panjang, jenis treknya pun beragam. Sambil menembus hutan hujan rapat, pendaki mesti melintasi jalur menanjak berundak berliku curam.
Di antara itu semua, legenda-legenda dan kisah yang menaungi setiap pos perhentian juga menjadi beban mental peziarah tanah tinggi, dengar saja namanya mulai dari: kuburan kuda, tanjakan ayah tiri sampai sumur peri.
Kami muda, dan lagi senang-senangnya mendaki. Rekor pendakian adalah tujuan, modal sedikit dan cuaca buruk bukan halangan. Yang terpenting adalah bisa sampai puncak.
Dalam kamus kami, we are too young to die. Kami terlalu muda untuk mati
Jalur Linggarjati tidak memiliki sumber air, ini memaksa masing-masing dari kami untuk membawa 8 botol besar air mineral dengan logistik yang lengkap di dalam carrier setebal karung beras.
Bisa bayangkan bagaimana rasanya punggung teriak dan kaki berontak?
Sedari awal sudah banyak yang mengingatkan, tidak bijak mendaki gunung yang punya hutan hujan basah nan rapat di penghujung tahun. Selain pacet bertebaran, jalur akan licin dan jadi kubangan lumpur ketika hujan.
Tetapi kami muda, dan lagi senang-senangnya mendaki, dalam kamus kami, tidak ada cuaca buruk, yang ada cuma kurang persiapan.
Dua hari sebelumnya kami mulai mendaki, alam nampak berpihak sebab tidak turun hujan namun udara cukup lembab, tanah jadi keras namun tidak berdebu. Meski kami terengah-engah, menarik nafas jadi menyenangkan dalam naungan aroma dedaunan dan tanah basah. Sepatu trekking jadi mudah menapak, satu demi satu langkah mantap beriring. Kami lengah, yakin cuaca akan selalu baik-baik saja, maka perjalanan sering melambat untuk melumat kudapan nikmat. Sampai langit mulai gelap, kami tidak mencapai pos yang sudah direncanakan untuk hari itu.
Hari selanjutnya langit cerah tanpa awan, burung-burung berkicau riang, rencana bangun pagi untuk segera mendaki demi mengejar ketertinggalan diurungkan. Kami memilih untuk mengobrol ringan sambil minum kopi sampai waktu mendekati siang. Kami lengah, tidak mungkin mencapai puncak saat langit masih terang dengan start yang terlambat.
Tetapi kami muda dan lagi senang-senangnya mendaki, dalam kamus kami, bahaya itu cuma kata bagi para penakut, segala resiko bisa diukur.
Langit sudah merona merah ketika kami tiba di dua pos terakhir sebelum puncak. Andri sudah pernah mencapai puncaknya, ia tahu benar medan yang akan dihadapi. Sarannya lebih baik bermalam di tenda dan lanjut mendaki esok pagi. Saya menolak, waktu tidak lagi cukup jika ditunda sehari. Dua hari lagi, saya harus segera pulang ke Jogja untuk mengikuti Pendidikan Dasar terakhir Mapasadha (mahasiswa pencinta alam universitas sanata dharma).
Dengan rencana yang jauh dari matang kami membagi tugas, Andri membangun tenda dan menyiapkan makanan sedangkan saya, Dendy dan Sandy dengan headlamp dan logistik secukupnya akan terus menuju puncak.
Kami muda dan lagi senang-senangnya mendaki, ego untuk menambah rekor pencapaian puncak tertinggi jawa barat mengaburkan bahaya di depan mata.
Selewat satu jam berjalan langit membiru, angin tetiba berhembus keras dari punggung membawa kabut pekat, jarak pandang tinggal dua meter. Hati saya mulai gentar, tapi pantang untuk tampak gemetar, semua hening sesaat menunggu salah satu mengambil keputusan untuk turun atau lanjut naik.
Saya berinisiatif melempar optimisme ke udara, “Ini Cuma kabut pergantian dari siang ke malam, sebentar lagi juga hilang, ayo jalan terus”. Kami lanjut mendaki dalam hening, ada keraguan tak terperi bergemuruh di hati yang cuma tampak dari wajah-wajah pucat itu.
Meski kabut semakin pekat dan hembusan angin tidak juga melambat, kami merapat sambil terus merayap di batu-batu besar, naik selangkah demi selangkah. Hutan sudah semakin jarang, kami mendaki semakin tinggi, sampai vegetasi lumut membentang seperti laut.
Alam seperti hati perempuan, tidak ada satu laki-laki yang bisa memprediksi dengan pasti apa yang terjadi. Kabut pekat menjadikan kami tidak peka dengan perubahan langit yang membentang di atas kepala. Kabut beranjak hilang namun angin mengangkut butiran air ganti menerjang. Hujan turun dan kami benar-benar tidak siap. Ego pun luruh.
Kami muda, dan lagi senang-senangnya mendaki, namun perasaan takut mati segera memenuhi hati.
Hanya mengenakan jaket windbreaker, kami tahu dalam beberapa menit seluruh badan akan basah kuyup. Tidak ada lagi ide-ide berfoto gagah atau menghayati puisi di puncak ciremai. Cepat turun atau tidak akan ada lagi waktu untuk menghindari hantu pembunuh nomor satu di gunung, hypothermia. Ternyata turun tidak semudah naik, jalur yang kami lewati dalam kabut itu adalah trek sempit di punggung gunung yang berbatasan langsung dengan jurang. Mental bukan hanya gentar, berucap saja sampai gemetar.
Beruntung hujan tidak lama-lama datang. Meski kabut senyap dan angin lenyap, pakaian sudah setengah basah. Mendadak badan Sandy gemetaran tak tentu arah, pandangan matanya kabur dan kesadarannya memudar. Hypothermia keburu menyerang. Pikiran menjadi liar, mati menakutkan namun apa lagi yang lebih mengerikankan dari mengabarkan kematian seorang sahabat pada orang tuanya karena kelalaianmu.
Kami memapah Sandy pelan-pelan, ia meracau kalau ia baik-baik saja, hanya sedikit mengantuk. Saya menampar dia keras, jangan sampai ia tertidur, pokoknya lebih baik kepalanya saya benturkan ke batu cadas daripada ia jatuh tertidur. Sekali penderita hypothermia terlelap, maka ia tidak akan pernah membuka lagi matanya.
Cahaya berpendar menyelinap dari balik pepohonan, ada kumpulan tenda di sana dan api unggun yang menyala buas. Kata tolong segera meluncur keras di udara, penghuni tenda segera menghampiri, tahu kondisi Sandy yang lemah, langsung ia dibawa ke dekat api unggun dan diberi minuman hangat, ia selamat.
Dandy merogoh kantong, air mukanya berubah, ada sesuatu yang tak beres, DVcam milik ibunya yang ia bawa tanpa izin terjatuh waktu jalan turun. Kami beradu pandang dalam hening, “gw mesti naik lagi cong, cari kameranya” pungkas Dendy singkat.
Saya terdiam, tenggorokan tercekat, kebodohan apa lagi yang mesti kami lakukan sampai mesti naik lagi mencari kamera kecil di gelap malam dan kepungan kabut setelah baru saja dengan selamat susah payah turun.
Kami muda, dan baru saja kapok mendaki, tetapi semangat setia kawan melebihi pemikiran untuk menyelamatkan diri. Saya naik lagi menemani Dendy mencari Dvcam sang ibu.
Melewati beberapa punggung, kami menemukan Dvcam itu terselip di antara undakan tangga yang terbentuk dari lilitan akar, untung saja warnanya putih sehingga mencolok mata ketika terpapar cahaya. Sesaat barang itu sudah dalam genggaman, kami tertawa, sekeras-kerasnya, sepuas-puasnya, sudah lama tidak merasakan kebahagiaan begitu mencekoki dada.
Turun kembali, Sandy sudah pulih. Kesadarannya sudah kembali dengan duduk dekat api juga asupan indomie terlur dan milo panas. Kami lanjut mendaki turun.
Dua jam kemudian, kami tiba di tenda, Andri sudah memasak nasi menggunakan plastik, konon ilmu itu baru ia pelajari dari sebuah forum pejalan. Meski tampak seperti lontong, isinya lembek seperti bubur.
Tidak sabar menunggu mie yang tidak kunjung matang di air yang kurang mendidih, kami menyantap ayam goreng bekas tiga hari lalu. Bagi orang-orang yang kedinginan, kelelahan dan baru saja melewati ketakutan luar biasa, rasa bukan lagi prioritas utama, masih bisa merasakan asin dan gurih di lidah saja sudah bersyukur luar biasa.
Sehabis makan, pikiran untuk bermain kartu atau bertukar cerita tidak lagi melintas di kepala. Setuntas membersihkan diri dengan tissue basah kami mengambil sleeping bag masing-masing. Malam itu kami hanya ingin berbaring dan beristirahat sampai pagi datang.
Malam itu malam tahun baru, jam menunjukan pukul 12.01, saya berujar “selamat tahun baru sobbbb..”, Dendy membalas lirih setengah berbisik “tidur cong… persetan sama tahun baru”.
Jika angin tadi berhembus satu arah, kini kami merasa angin berputar-putar di atas kepala, suaranya mendesis namun tenda tidak bergoyang sama sekali. Setelah seperti itu selama beberapa belas menit, angin kembali datang bersama hujan, mungkin di dekat puncak hujan deras lebih dulu datang, sehingga air tetiba mengaliri bawah tenda dan merembas ke atas pelan-pelan.
Andri mungkin buru-buru ketika memasang tenda sehingga lupa memeriksa aliran air dan membuat tanggul. Kami segera bangun, melipat sleeping dan mengemas peralatan dengan panik. Tidak ada lagi tidur hangat dalam sleeping bag, di dalam tenda saja kami mesti duduk berjongkok.
Kami cuma bisa tertawa keras-keras menertawakan diri sendiri dan segala kemalangan ini. Rasa lelah, frustasi dan takut campur aduk sehingga mengeluh jadi tak berguna. Kami Cuma bisa tertawa keras-keras menghibur diri sambil saling memaki kebodohan masing-masing selama pendakian ini. Juga pendakian-pendakian bersama kami sebelumnya.
“Kreeekkkk…. kreeekkkk…. kreeeekkkk…. braaakkkkkk”
Kami serentak terdiam, ada ketakutan yang tiba-tiba menghentikan sekaligus tawa.
Suara itu seperti dekat sekali dengan tenda, suara pohon raksasa rapuh yang tak kuat menahan angin kemudian ambruk.
Disusul suara-suara yang sama, berulang-ulang kali. Saya melongok ke luar, “celaka, tenda ini berdiri dikelilingi pohon-pohon tua raksasa”.
Keluar dari tenda dan turun juga lebih berbahaya, jalanan menuruni lembah sudah jadi saluran air dan kubangan lumpur, ditambah kali ini tengah malam dan hujan deras. Lalu siapa yang bisa menjamin kami tidak akan tertimpa pohon selama berjalan turun.
Malam itu, detik demi detik terasa begitu lambat berjalan. Setiap bunyi denyitan pohon, saya memejamkan mata, memohon ampun pada Yang Kuasa supaya diampuni segala dosa.
Setiap bunyi batang terjerembab menghantam tanah dan kami masih utuh, saya berterima kasih sehebat-hebatnya pada Yang Kuasa. Seperti itu berulang-ulang kali. Untuk pertama kalinya saya begitu takut mati.
Kami muda, dan lagi senang-senangnya mendaki.
Namun kami sadar, we are never too young to die.
Ya, kita tidak pernah terlalu muda untuk mati.
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan 10 tahun lalu di blog lama agustinriosteris
Leave A Comment