Beberapa hari lalu saya menyelesaikan satu film drama Jepang di Netflix berjudul “Love and Fortune”. Film ini bercerita tentang Wako perempuan berumur 31 tahun yang hidup bersama kekasihnya Fuuta. Terjebak dalam hidup yang begitu-begitu saja dan hubungan yang tak lagi menggairahkan setelah 3 tahun hidup bersama, Wako merasa kehilangan arah. Pada suatu hari Ia bertemu seorang lelaki yang merupakan pengunjung di bioskop tempatnya bekerja dan langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Namanya Iko, seorang anak lelaki introvert penikmat film berumur 15 tahun yang baru saja pindah ke kota itu.
Terhubung oleh minat yang sama akan film, Wako terobsesi pada Iko yang membawa mereka berdua terjebak dalam hubungan skandal. Dan drama dimulai.
Lalu apa yang membuat saya menikmati film ini? Penulisan naskah, penyutradaraan dan sinematografis yang sangat memukau.
Dalam banyak adegan saya menemukan banyak sekali simbol dalam drama ini. Salah satu adegan yang saya suka adalah ketika kipas angin yang dibeli pada hari pertama mereka tinggal bersama mulai macet. Fuuta akan memukul-mukul kipas itu hingga kembali bekerja. Hal itu menunjukan Fuuta akan mempertahankan segala hal dalam hidupnya dengan berbagai cara meski harus berhadapan dengan ketidaknyamanan terus menerus seperti hubungannya dengan Wako. Fuuta terima-terima saja dengan kurangnya kehangatan di antara mereka, namun Wako tidak.
Wako ingin hidup yang menggairahkan dan menantang. Hal ini digambarkan dengan obsesi Wako bermain di mesin game figurin koin berharap akan menemukan karakter yang langka. Juga obsesi Wako pada film-film satu sutradara yang terkesan absurd dan liar.
Sang sutradara sering menunjukan pengambilan gambar dari dua angle dalam frame terpisah di satu adegan sehingga penonton bisa melihat bagaimana perbedan dua karakter menanggapi situasi yang sama. Ditambah, sang sinematografer membuat gambar-gambar yang Indah dengan angle-angle yang unik. Penggunaan pencahayaan lembut dan kuat juga dipadukan dengan seimbang sehingga memperkuat dramatisasi tiap adegan.
Penulis naskah menunjukan kebingungan, luka dan dilema yang dialami Wako dengan apik. Teman dan keluarga Wako bertanya kapan Wako akan segera menikah. Seperti yang diucapkan sang kakak yang sedang hamil besar pada Wako “You can date or get married any time but not have kids”. Meski dalam hati, Wako tidak ingin memiliki anak dan menjalani hidup sesuai impiannya.
Pada suatu masa, Wako pernah sangat ingin menikah dan punya anak dengan Fuuta. Namun, Fuuta merasa mereka tak perlu menikah karena sudah hidup bersama layaknya suami istri. Lagipula karir dan gaji Fuuta yang stagnan membuat ia banyak pertimbangan untuk menikah apalagi memilik anak. Keadan berbalik ketika Fuuta ingin menikah, Wako yang berpikir ulang dan bahkan berpura-pura bahagia dengan apa yang ada. Wako tidak bahagia hidup bersama Fuuta namun tetap bertahan karena ia merasa menemukan kekasih pada umur tersebut sangat sulit.
Dari film ini kita belajar bahwa tekanan ekonomi akan memperburuk keadaan suatu hubungan. Pekerjaan Fuuta biasa saja dengan salary yang kecil. Hal ini diperburuk dengan Wako yang kehilangan pekerjaan karena tempatnya bekerja tutup. Fuuta selalu mengeluh tidak punya uang karena harus menanggung hidup Wako. Fuuta selalu menekan Wako untuk mencari pekerjaan. Di sini konflik semakin meruncing.
Film ini menunjukan dengan vulgar bagaimana masyarakat di Jepang memperlakukan perempuan berumur 31 tahun yang belum menikah. Tekanan dari sesama dan masyarakat kadang menyulitkan setiap orang untuk berbahagia dengan caranya masing-masing. Saya harap setelah kamu nonton film ini bisa lebih berempati dan tidak judgmental pada temannya yang belum mau menikah.
Sebagai penonton, kita juga diajak merasakan kesepian akut yang dialami oleh Wako. Pergolakan batin dan keresahan-keresahaan dalam hidupnya. Pertanyaan kenapa ia selalu mengalami kesialan yang sama dan keterpurukan karena merasa tidak punya pilihan.
Puncak adegan favorit saya adalah ketika wako memutuskan untuk meninggalkan Fuuta bukan karena Iko. Tetapi karena Wako menyadari bersama Fuuta ia kehilangan dirinya. Fuuta selalu berkata apa yang menjadi passion Wako adalah konyol dan sia-sia. Fuuta bahkan tidak pernah mencoba mendengarkan kebutuhan Wako dan mencoba untuk berubah. Beberapa adegan ini digambarkan dengan Fuuta yang selalu menguasai remote TV dan kaos kaki yang tidak pernah dikembalikan ke tempatnya.
*Spolier Alert*
Apa yang saya suka dari akhir film ini? Endingnya.
Besar dengan kisah-kisah film disney tentu kita menebak film ini akan berakhir bahagia. Tokoh perempuan dan tokoh lelaki berhasil menempuh segala ujian dan menikah. Happily ever after, kaya raya tujuh turunan, dan punya anak banyak.
Pada akhirnya Wako berani untuk meninggalkan Futa dan tidak hidup bersama Iko. Wako memutuskan mengejar passionnya untuk bekerja di dunia film dan berhasil membuka bioskop film independen seperti mimpinya selama ini. Wako juga bahagia dengan keinginannya tidak memiliki anak.
Moral dari film ini adalah pada akhirnya kebahagiaan kita tidak ditentukan oleh apa yang lingkungan katakan. Tapi saat kita jujur pada diri sendiri dan berani memperjuangan apa yang kita rasa tepat untuk diri kita.
Saya baru beres nonton ini juga, saya rasa Wako perlu diapresiasi aktingnya terutama saat dia merasa harus putus dengan Fu sampai2 dia harus sujud memohon minta putus. Cuma endingnya memang tidak seperti yg saya bayangkan sih, at least endingnya semua orang disitu punya jalan hidup masing2 sesuai kehendaknya masing2 juga
Iko nya kemana ya?