Tentang Membeli Mobil – Refleksi Akhir Tahun 2022

Saya dan istri tidak pernah berencana memiliki mobil pribadi. Kami hanya pernah berandai-andai, suatu saat nanti akan membeli mobil toyota Hiace yang diubah menjadi karavan sederhana. Dengan mobil tersebut, kami akan membawa anak-anak bulu berkeliling Indonesia.

Hal itu bukan tanpa alasan. Saya lama tinggal di Bali dan suatu pilihan yang buruk menggunakan mobil untuk menunjang mobilitas di sana. Jadi motor adalah alternatif utama selama ini. Berkendara dengan Motor sangat ringkas dan efisien di jalanan yang kian hari kian macet. Minus kedinginan saat hujan dan kepanasan di siang bolong. Tapi itu esensi hidup di Bali.

Untuk istri, ia besar di daerah Mangga Besar yang menjadikan lahan parkir suatu kemewahan. Namun, ia  tinggal di pusat ibu kota yang berarti infrastruktur tersedia. Dari transjakarta, KRL, sampai MRT semua tersedia hampir 24 jam. Meski Ia lebih sering pakai layanan taksi online dan memilih bekerja atau tidur dalam perjalanan menuju tempat kerja.

Ketika menikah di tahun 2020, kami juga tidak membicarakan membeli mobil untuk keluarga. Tinggal di daerah Cilandak, membuat kami memiliki beragam pilihan transportasi publik, dan motor Kawasaki W175 untuk mobilitas harian. 

Selain itu, kami sepakat untuk hidup lebih sederhana, minimalis, dan “downsizing” kepemilikan barang-barang. 

Kami ingin lebih banyak menggunakan uang untuk makan enak; kumpul dengan teman dan keluarga; juga membeli waktu luang dan pengalaman. 

Kami sadar memiliki dan merawat mobil di Jakarta hanya menambah beban tapi tidak menambah kebahagiaan apa-apa, tentu saja pemikiran ini tidak berlaku untuk mayoritas orang, hanya berlaku di keluarga kami saja.

Tidak dipungkiri terkadang kami membutuhkan mobil untuk bepergian ke luar kota. 

Lalu bagaimana solusinya? 

Kami biasa menyewa mobil atau meminjam mobil cadangan orang tua yang lebih sering menganggur di garasi. 

Buat kebutuhan pribadi, menyewa lebih hemat waktu dan biaya dibanding membeli dan merawat mobil.

Dalam wish list pribadi saya, tidak ada mobil di sana. Malah di wish list ada motor touring Ducati DessertX yang rencananya akan saya kendarai keliling Indonesia.

Turning Point itu bernama Suvarna Sutera

Di tahun 2021 kami membeli sebidang tanah di Suvarna Sutera. Tak lama kemudian kami menyewa rumah dan pindah ke sana. Harapannya, kami bisa memonitor progress saat pembangunan rumah dimulai.

Sejak awal saya memang bisa WFA, work from anywhere. Jadi dimanapun saya tinggal –asal ada laptop, listrik, internet dan segelas kopi– saya bisa bekerja.

Istri masih bekerja di daerah Sudirman Jakarta. Jam kerjanya 50% WFH dan 50% WFO. Ia juga mulai mengajar pilates di daerah Gading Serpong.

Alternatif transportasi pergi ke Jakarta adalah shuttle dari Suvarna – FX Sudirman PP. 

Di pagi hari Istri perlu pergi sebelum matahari terbit ke Halte Shuttle & di sore hari keluar kantor terburu-buru supaya tidak ketinggalan shuttle untuk perjalanan pulang. 

Lalu, untuk pergi mengajar pilates ke Gading Serpong, istri pikir bisa mengandalkan layanan taksi online layaknya tinggal di Jakarta.

Kami tidak memperhitungkan lokasi rumah yang berada di bagian paling ujung perumahan. Juga area perumahan yang berada di ujung kabupaten Tangerang.

Tidak banyak taksi online mangkal di radius 10 km dan tidak banyak yang mau jauh-jauh menjemput ke daerah rumah. Butuh waktu tunggu 30-60 menit sampai kami bisa mendapatkan pengemudi yang mau mengambil pesanan. Bahkan untuk kebutuhan yang penting seperti pergi ke bandara, kami perlu memesan taksi online 12 jam sebelumnya.

Mengandalkan transportasi publik di daerah ini sangat kontraproduktif dan melelahkan.

 

Memilih Mobil Yang Sesuai Keinginan atau Kebutuhan?

Akhirnya kami memutuskan untuk memiliki mobil.

Pertanyaan selanjutnya, mobil apa yang kami inginkan?

Melihat ke masa lalu, saya berasal dari keluarga berlatar ekonomi biasa. Keluarga tidak pernah memiliki mobil pribadi. Jenis mobil yang keluarga punya adalah mobil kijang pick up untuk keperluan usaha. Ayah akan menggunakan sepeda untuk pergi dari rumah ke tempat usaha di pagi hari. Ibu akan menyusul menggunakan angkot di siang hari. Bila kami ingin bepergian ke luar kota, ayah akan menyewa mobil milik saudaranya. 

Berbeda dengan istri, ia berasal dari keluarga dengan ekonomi yang lebih kuat. Mertua memiliki usaha material dan transportasi logistik. Bagi istri, memiliki mobil pribadi keluarga adalah suatu hal yang normal sejak kecil.

Saat ini, kakak ipar mengendarai Lexus dengan alternatif Volkswagen dan Alphard di garasinya. Sedangkan adik ipar juga mengendarai BMW dan memiliki usaha jual beli mobil  bekas. 

Tentu saja saya berasumsi istri punya standar mobil yang lebih dari Toyota Avanza atau Xenia.

Atau paling tidak sebagai lelaki, saya ingin mobil istri tidak terlalu jomplang dengan keluarganya sejak hidup bersama saya.

Asumsi pribadi ini diperkuat dengan pekerjaan istri di bidang sekuritas & keuangan di bank multinasional. Posisinya yang cukup berpengaruh tentu mesti diperkuat dengan mobil yang representatif untuk menunjang karirnya. Kembali ini merupakan asumsi saya saja.

Apalagi pada bulan Desember 2020, kami dipinjamkan mobil Lexus kakak ipar selama hampir sebulan untuk kebutuhan road trip liburan akhir tahun ke Bali. Meski akhirnya kami tidak jadi pergi. Namun, mengendarai mobil tersebut, membuat standar saya tentang kenyaman berkendara meningkat tanpa disadari.

Tanpa berdiskusi sebelumnya, saya langsung riset mobil apa yang kira-kira sanggup kami berdua cicil tanpa terlalu memberatkan. Pilihan saya jatuh pada Honda CRV, Nissan X-trail, atau Mazda CX-5. 

Dengan hati riang saya sampaikan proposal beserta rekayasa bujet keuangan kepada istri.

Ide membeli mobil tersebut ditolak mentah-mentah.

 

Manajemen Keuangan Rumah Tangga

Saya lupa istri seorang Certified Financial Planner terdaftar. Disiplin keuangan adalah jalan ninjanya.

Prinsip istri, jika kami tidak bisa membeli barang dengan tunai, berarti memang kami tidak sanggup memilikinya. 

Hanya tanah yang layak dicicil.

Istri mengatur keuangan keluarga layaknya mengatur finansial perusahaan. 

Salah satu asumsi akuntansi yang dipakai adalah setiap barang ada masa pakai dan seiring waktu akan menyusut. Misal, masa pakai barang elektronik berumur 4 tahun; kendaraan hanya 8 tahun; rumah permanen hanya 20 tahun.

Jadi kami sudah punya proyeksi barang-barang apa saja yang akan kami beli dalam periode tertentu. Misal, kebutuhan pasti saya seperti: Laptop, Handphone, & alat-alat hobi seperti motor, sepeda, fotografi. Rencana keuangan yang dibuat istri memastikan dana tersedia saat masa pakai sudah habis dan upgrade barang diperlukan.

Selain pos barang konsumsi, istri  juga menyiapkan pos lain seperti: biaya pembangunan rumah, traveling, pendidikan, dana darurat, dana pensiun, hari besar, eksperimen bisnis, bahkan pos untuk membeli anjing. 

Setiap pos tersebut disimpan dalam beragam produk keuangan seperti: deposito, reksadana, valuta asing, dan saham blue chip.

Sebelum bertemu istri, jalan ninja saya adalah “cicil saja meski sanggup bayar cash”. Dulu,  motto saya saat belanja adalah “Nothing haunts us like the things we didn’t buy”

Tidak mudah adjust dengan gaya hidup ini untuk orang yang happy-go-lucky seperti saya. Namun, pandemi mengubah itu semua. Saya percaya persiapan keuangan itu sangat penting.

Kembali ke tema utama…..

Masalah utama saat ingin membeli mobil adalah kami tidak menyiapkan pos untuk membeli mobil. Sehingga kami hanya bisa menggunakan dana menganggur yang tersedia. 

Bila ingin membeli  CR-V dengan uang tunai  berarti pilihannya menabung beberapa bulan sambil mengorbankan pos yang dianggap tidak terlalu penting seperti: dana traveling, barang hobi, dan biaya adopsi anjing. Saya menolak alternatif tersebut  karena: pertama, pengorbanannya terlalu besar; dan kedua, mobil ini kebutuhan mendesak.

Pilihan yang tersedia adalah: Membeli mobil sesuai dana menganggur yang tersedia.

Meski dalam diskusi alot saya masih coba memasukan ide kalau dana ini cukup buat DP CR-V. qiqiqi

 

Mencari Mobil Sesuai Budget

Ketika sudah ditentukan dana yang tersedia saya langsung proaktif mencari mobil yang sekiranya layak dimiliki. 

Daripada beli mobil baru dengan spesifikasi paling bawah, lebih bijak membeli mobil bekas dengan kondisi yang masih baik. Lagipula ini hanya untuk pemakaian sementara sambil kami menyiapkan anggaran pos mobil beberapa tahun ke depan.

Manusia selalu merasa dirinya paling logis, meski pada kenyataannya kita semua mahluk emosional dengan segala cognitive bias. Begitupun yang saya alami ketika mencari mobil yang sesuai untuk keluarga.

Dari hasil pencarian, saya mendapat beberapa opsi yang menarik sesuai preferensi saya pribadi. Kalau tidak bisa membeli yang terbaik, belilah yang klasik. 

 

Kijang LGX 2004. 

Dengan budget yang tersedia saya bisa mencari mobil legendaris ini dengan kondisi yang masih cukup baik. Dengan kelebihan dananya saya akan memodifikasi beberapa bagian interior dan exterior agar jadi lebih elegan. Suku cadang juga masih banyak tersedia.

Apalagi Kijang LGX  mulai diburu kolektor karena banyak orang punya memori indah masa kecil  dengan mobil ini sehingga bisa jadi investasi jangka panjang saat dijual kembali. 

Ide ini ditolak istri karena masa pakai sudah habis jauh dan sangat boros bahan bakar. Apalagi saat itu harga BBM lagi naik tinggi-tingginya. Mobil seperti ini tidak cocok dipakai harian. 

Nissan Evalia XV/AT 2013

Dengan kabin yang besar saya bisa memodifikasi mobil ini menjadi mini caravan. Kami bisa traveling ke alam sambil berkemah. Anak-anak bulu juga bisa lebih leluasa di dalam mobil saat perjalanan. Harga juga masih mepet bujet yang ada.

Ide ini ditolak istri karena mobil ini terlalu besar dan biaya modifikasi di dalamnya menjadi caravan seharga satu mobil bekas lagi. Meski konsumsi bahan bakar terbilang irit namun agak rewel dan biaya spare part juga cenderung mahal. Apalagi kebanyakan orang menggunakan mobil ini untuk kebutuhan berniaga pasti jarang ada yang dalam kondisi prima.  Mobil seperti ini tidak cocok dipakai harian.

Toyota Vios 2013

Toyota vios merupakan mobil sedan yang elegan, gesit, dan irit. Cocok dipakai di dalam kota. Lalu opsi modifikasi juga terbuka luas. Saya kira meski mobil ini terjangkau tapi masih cocok dipakai saat ini dan digunakan harian. Harga juga hanya perlu penyesuaian sedikit dari budget yang ada.

Istri awalnya setuju, namun ia kembali  keberatan karena sulit membawa anak-anak bulu jalan-jalan karena kabinnya yang kecil. Selain itu, karena mobil ini masih diburu banyak orang sulit mencari barang yang bagus dengan harga kompetitif.

Dari diskusi ini saya akhirnya menyadari, saya sedang mencari mobil untuk keperluan istri, bukan untuk memenuhi ego pribadi. Dia yang akan sehari-hari memakai mobil ini untuk keperluan bekerja ke Jakarta dan Gading Serpong. Seperti saya ceritakan di awal, saya bisa bekerja dari mana saja.

Lagipula, saya lebih suka mengendarai motor daripada mobil. 

Jika ada teman mengajak saya roadtrip ke Bali naik mobil, saya belum tentu mau. Namun, jika istri mengajak saya touring ke Bali naik motor, saya akan mengiyakan tanpa pikir dua kali.

 

God gives us what we really need. Not what I think we need

Selain saya mencari sendiri, saya juga meminta bantuan adik ipar yang memang memiliki bisnis jual beli mobil mewah bekas. Tiap saya menemukan mobil yang sekiranya cocok, istri akan meminta adiknya untuk cek mobil tersebut. Istri juga akan meminta pertimbangan adiknya tiap jenis mobil yang saya ajukan.

Namun, dalam sebulan pencarian kami belum menemukan mobil yang cocok dengan kualitas yang baik. 

Meski saya bukan orang relijus dan suka menghujat pendeta materialistis, saya ingin mengatakan Tuhan memberikan apa yang benar-benar kami butuhkan di waktu yang tepat bukan apa yang saya pikir saya butuhkan.

Pada bulan Juli 2022, Adik ipar mengabari ada orang yang sedang ingin menjual mobilnya.

ilustrasi mobil calya silver

Mobil Calya tahun 2016 warna silver dengan kilometer pemakaian yang sangat sedikit, hanya 16,000 km. Saat saya cek interiornya masih bau mobil baru. Mobil ini awalnya hanya dipakai pemilik untuk mengantar anak ke sekolah dekat rumah dan selebihnya menganggur di garasi.

Mobil ini memenuhi semua kriteria yang kami butuhkan: hemat bensin, kondisi prima, minim perawatan, transmisi otomatis, dan bagasi belakang cukup untuk membawa anak-anak bulu. 

Adik ipar juga sudah cek mesin dan kondisi lainnya. Mesin masih dalam kondisi sangat prima dan tidak ada tanda-tanda pernah terendam banjir. Kami tebus mobil tersebut di bawah budget kami, sekitar 105 juta rupiah. Bahkan adik ipar bilang kalau mau dijual lagi bisa dapat harga lebih tinggi.

Saya juga menyadari pada akhirnya, saat membeli mobil secara tunai, meski tidak sesuai preferensi, saya merasa barang ini sebagai berkat hasil kerja keras, bukan beban. Saya menggunakan dengan senang hati tanpa beban membayar angsuran seandainya saya mencicil mobil yang sesuai keinginan.

Berulang kali saya terjebak dalam hedonic treadmil. Kebahagiaan memiliki barang cenderung akan menghilang dalam beberapa waktu saat kita mulai terbiasa dengan barang tersebut. Maka kita selalu berpikir untuk membeli barang baru yang lebih bagus, lebih mahal, lebih banyak, supaya bisa mendapat kebahagiaan setara dengan barang yang sebelumnya kita beli.

Membayar cicilan hanya akan menambah beban dalam jangka panjang demi kebahagiaan jangka pendek itu.

Refleksi Akhir Tahun

Di usia pernikahan kami yang sudah berjalan 2 tahun lebih, saya menyadari pernikahan bukan sekedar afeksi dan intimasi. Di dalamnya terdapat negosiasi dan kompromi tiada akhir, yang tentu saja untuk kebaikan kami bersama.

Dinamika ini yang membuat hidup bersama terkadang menyebalkan sekaligus menarik. Petualangan sesungguhnya adalah belajar mengenal diri sendiri dan pasangan seumur hidup. Kami terus bertumbuh dan berkembang, sehingga belajar untuk saling mengenal dan mengerti adalah proses tanpa akhir.

FIN